Karya Mahasiswa Kita
Suatu hari seorang teman ku yang tepatnya seniorku bernama Mr. JUTA dimana saat itu dia mengirimkan sebuah e-mail yang menurut ku isinya sangat bijak sekali dan bermotivasi tinggi. bahkan sampai terpesonanya aku oleh artikel tersebut setiap kesempatanku selalu ku coba untuk membaca-bacanya lagi, tak pernah bosan rasanya untuk membaca artikel tersebut berulang-ulang. karena menurut ku artikel ini sangat bermanfaat dan akhirnya terlintas dibenakku untuk ku bagikan kepada kalian. dan semoga Artikel ini dapat memberikan pelajaran dan juga hikmah untuk kita semua.

HIDUP bukanlah sebuah VCD PLAYER

Cerita ini adalah "kisah nyata" yang pernah terjadi di Amerika.


Seorang pria membawa pulang truk baru kebanggaannya, kemudian ia meninggalkan truk tersebut sejenak untuk melakukan kegiatan lain.

Anak lelakinya yang berumur 3 tahun sangat gembira melihat ada truk baru, ia memukul-mukulkan palu ke truk baru tersebut. Akibatnya truk baru tersebut penyok dan catnya tergores.

Pria tersebut berlari menghampiri anaknya dan memukulnya, memukul tangan anaknya dengan palu sebagai hukuman. Setelah sang ayah tenang kembali, dia segera membawa anaknya ke rumah sakit. Walaupun dokter telah mencoba segala usaha untuk menyelamatkan jari-jari anak yang hancur tersebut, tetapi ia tetap gagal. Akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan amputasi semua jari pada kedua tangan anak kecil tersebut.

Ketika anak kecil itu sadar dari operasi amputasi dan jarinya telah tidak ada dan dibungkus perban, dengan polos ia berkata, "Papa, aku minta maaf tentang trukmu." Kemudian, ia bertanya, "tetapi kapan jari- jariku akan tumbuh kembali?"

Ayahnya pulang ke rumah dan melakukan bunuh diri.

Renungkan cerita di atas! Berpikirlah dahulu sebelum kau kehilangan kesabaran kepada seseorang yang kau cintai. Truk dapat diperbaiki. Tulang yang hancur dan hati yang disakiti seringkali tidak dapat diperbaiki.

Terlalu sering kita gagal untuk membedakan antara orang dan perbuatannya, kita seringkali lupa bahwa mengampuni lebih besar daripada membalas dendam.

Orang dapat berbuat salah. Tetapi, tindakan yang kita ambil dalam kemarahan akan menghantui kita selamanya.
Tahan, tunda dan pikirkan sebelum mengambil tindakan.
Mengampuni dan melupakan, mengasihi satu dengan lainnya.
Ingatlah, jika kau menghakimi orang, kau tidak akan ada waktu untuk mencintainya

Waktu tidak dapat kembali....

Hidup bukanlah sebuah VCD PLAYER, yang dapat di backward dan Forward.........

HIDUP hanya ada tombol PLAY dan STOP saja....
Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang dapat membayangi kehidupan kita kelak.........

Yang menjadi sebuah inti hidup adalah "HATI"
Hati yang dihiasi belas kasih dan cinta kasih.....
CINTA KASIH merupakan nafas kehidupan kita yang sesungguhnya.........

"SEMOGA SEMUA MAKHLUK HIDUP BERBAHAGIA"


Karya Mahasiswa Kita
Membaca catatan harian adalah seperti mempelajari sejarah. Kalau kita membaca catatan harian kita, kita mempelajari (dan merenungi) apa yang telah kita lalui, lakukan, tidak lakukan, yang kita lewatkan, dan berbagai hal yang langsung maupun tak langsung bersentuhan dengan kita. Membaca catatan harian Soe Hok Gie secara tidak langsung juga membaca sejarah Indonesia (dari mata seorang Gie) beserta hal-hal di balik sejarah itu sendiri. Soe Hok Gie adalah salah satu tokoh aktivis yang di kagumi. Gie tidak saja menguras pikirannya mengenai bangsa dan negeri di mana dia lahir (Indonesia) dengan menulis, tapi juga ikut serta dalam pergerakan mengubah sejarah bangsanya. Selain sikap-sikap politiknya, dalam catatan harian Gie ini kita juga bisa banyak belajar bagaimana seorang intelektual muda di tahun 60-an ini memandang persahabatan dan tentunya sebagai seorang manusia: cinta. Banyak orang juga sering terkagum melihat bagaimana orang-orang yang diceritakan Gie dalam catatan hariannya itu kini sering kita dengar atau lihat sebagai seorang Tokoh. Bukan hanya dalam arti ke-"terkenal"an-nya, tapi bagaimana orang-orang itu turut berperan dalam perjalanan sebuah bangsa. And that's very motivating.

Soe hok gie, lahir disaat perang tengah berkecamuk di pasifik . dididik dikeluarga yang perekonomiannya tidak begitu buruk namun berada di lingkungan yang kebanyakan perekonomiannya sangat memprihatinkan, Dia yang anak seorang penulis bernama Soe Lie Piet ( Salam Sutrawan) seorang sastrawan, dan kakaknya, Soe Hok Djien (Arief Budiman), adalah seorang intelektual terkemuka Indonesia. Ia pernah menjadi Ketua Senat Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan salah satu pendiri organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI. Seperti pepatah buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, begitu pula Gie rupanya gie pun tidak beda dengan ayahnya. Rajin menuliskan kejadian dan pengalaman kesehariannya. Dari catatan hariannya kita bisa tau kalau sejak kecil dia memang cerdas. dari cara dia memprotes seorang guru yang memang "kurang pintar", sampai kritikan dia kepada seorang Presiden yang memiliki kharisma yang begitu hebat (Soekarno). sampai-sampai dalam sebuah catatannya, dia sebagai seorang dosen mendapat makian dari teman maupun mahasiswanya dikarenakan kefrontalannya memberikan kritikan. musuhnya banyak... karena keidealismean dia. karena kejujurannya. Sayangnya ada catatan yang hilang pada masa waktu sebelum dan sesudah terjadinya tragedi G30S.
Ketika Mira Lesmana dan Riri Riza menggarap film Gie. Soe Hok Gie, sudah 36 tahun terlelap dalam tidur abadinya. Buku hariannya Catatan Harian Seorang Demonstran sudah 10 tahun menghilang dari toko buku.
Wajar saja jika pertanyaan “Siapa Soe Hok Gie? akan dijawab orang berbeda-beda. Di mata mahasiswa ia adalah seorang demonstran tahun 60-an. Namun di mata pecinta alam dia adalah anak Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang tewas di Semeru tahun 1969.
Tinta Emas Soe Hok Gie Bag.2
Karya Mahasiswa Kita

MELAMUN DI ATAS GENTING
“Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.
“Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku yang dibacanya. Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.

BERANI MENGKRITIK
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66. Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR. Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.

GIE SEORANG SOSIALISME
Soe Hok Gie jelas adalah seorang sosialis tulen. Sebagai aktivis dari GM Sos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), dia akrab dengan tulisan-tulisan dan pemikir-pemikir sosialis seperti Jean Jaures, Rosa Luxemburg, Gramsci, Sjahrir dan lain-lain. Dia selalu berharap agar setiap asset yang dimiliki negara digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD ‘45), tapi tanpa melakukan peniadaan kelas yang agresif dan agitatif layaknya aksi kaum Marxis-Leninis.

GIE SEORANG SEKULER
Pemikiran-pemikiran Gie jelas memisahkan antara agama dan negara. Rizieq Shihab.
Mari kita lihat dalam kerangka bagaimana Gie merumuskan sekularisme-nya.
Beberapa tulisannya dalam “Zaman Persimpangan” (Gie berkesempatan mengunjungi Amerika dan Australia), dia melihat langsung fenomena kaum hippies, anti-establishment dan semacamnya pada waktu itu. Saat itu, issue agama menjadi tidak menarik sama sekali bagi Gie, dan paham sekularian jauh lebih menarik dan sexy bagi orang-orang muda seperti Gie.
Dalam kaitan ini pula kita bisa memahami thesis Nurcholish Madjid di awal 70-an : Islam Yes, Partai Islam No. Ketika label-label agama dilekatkan pada sebuah organ non agama (partai, institusi dan lain-lain) maka dia menjadi kehilangan makna tematis dan historisnya. Bahkan dalam beberapa kasus, hal ini menjadi beban bagi organ yang dilekatkan dengan label agama, untuk selalu bertindak sesuai dengan ‘rules‘ yang terdapat dalam kitab suci.

GIE SEBAGAI EVOLUSI BUDAYA
Gie percaya, bahwa budaya (dan dalam range tertentu ini juga menyangkut agama, yang dalam kajian sejarah dipandang sebagai sebuah bentuk kebudayaan manusia) bersifat evolutif; selalu bergerak dan berubah sesuai dengan tuntutan jaman. Dalam hal ini, Gie percaya adanya sebuah ‘mixed-for-good‘, adagium bahwa pergesekan antar budaya akan menghasilkan sebuah kebudayaan baru yang lebih baik dari kebudayaan sebelumnya. Karena itu, dalam tataran implementasinya, Gie mendukung kebijakan kawin-campur bagi etnis Tinghoa waktu itu (dan etnis-etnis lainnya juga) agar sebuah nation-state bernama Indonesia ini menjadi sebuah entitas yang plural dan inklusif.

TULISAN SOE HOK GIE
Dalam perjalanannya Gie telah menelurkan banyak karya tulis yang luar biasa banyak diantaranya diambil dari catatan harianya atau artikel-artikelnya bahkan catatan skripsinya. Sayangnya Gie tidak berkesempatan untuk membuat buku tentang semua pemikirannya tersebut, hanya beberapa catatan tentang kehidupannya yang berjudul ”Buku Harian Seorang Demonstran”, ”Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan”, dan sebuah skripsi yang berjudul ”Di Bawah Lentera Merah”.

TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru. Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal. Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil. Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie. “Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.
Karya Mahasiswa Kita


Liric Puisi Cahaya Bulan
akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yg biasa
pada suatu ketika yg telah lama kita ketahui
apakah kau masih selembut dahulu memintaku minum susu dan tidur yg lelab
sambil membenarkan letak leher kemejaku

kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih
lembah bandalawangi
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan” yg menjadi suram
meresapi belaian angin yg menjadi dingin

apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika kudepak, kau dekaplah lebih mesra
lebih dekat

apakau kau masih akan berkata
kudengar dekap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
yg takkan pernah aku tahu dimana jawaban itu
bagai letusan berapi bangunkan dari mimpi
sudah waktunya berdiri mencari jawaban kegelisahan hati
Karya Mahasiswa Kita


Lirik Ost. Gie Donna Donna
On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky.
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
“Stop complaining!“ said the farmer,
Who told you a calf to be ?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?“ + Chorus
Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.